A.
PENDAHULUAN
Dalam konteks individu, pendidikan termasuk salah satu
kebutuhan asasi manusia, karena pendidikan menjadi jalan yang lazim untuk
memperoleh pengetahuan atau ilmu, sedangkan ilmu akan menjadi unsur utama
penopang kehidupannya. Oleh karena itu, Islam tidak saja mewajibkan manusia
untuk menuntut ilmu, bahkan memberi dorongan serta arahan agar dengan ilmu itu
manusia dapat menemukan kebenaran hakiki dan mendayagunakan ilmunya di atas
jalan kebenaran itu (Karim, 2007).
Islam mengarahkan manusia untuk
mengaplikasikan ilmunya dalam menggali dan menghayati makna hidup. Islam tidak
menghendaki ilmu yang diperoleh digunakan untuk kepentingan pribadi yang di
sisi lain merugikan banyak orang. Ilmu yang baik pada dasarnya adalah ilmu
membawa kemashlahatan bagi umat, di dunia maupun di akhirat.Rasulullah SAW pernah bersabda: "Tuntutlah oleh kalian akan ilmu pengetahuan, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah azza wajalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah shodaqoh. Sesungguhnya ilmu itu akan menempatkan pemiliknya pada kedudukan tinggi lagi mulia. Ilmu adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan akhirat." (HR Ar Rabii’).
Makna hadis tersebut sejalan dengan firman Allah SWT:
"Allah
niscaya mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan mereka yang berilmu pengetahuan bertingkat derajat. Dan Allah Maha mengetahui terhadap apa yang kamu lakukan." (QS. Al-Mujadalah: 11).
niscaya mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan mereka yang berilmu pengetahuan bertingkat derajat. Dan Allah Maha mengetahui terhadap apa yang kamu lakukan." (QS. Al-Mujadalah: 11).
Jadi, dalam Islam pendidikan tidak hanya sekedar sebuah
dinamika kemanusiaan yang lazim, melainkan lebih dari itu, pendidikan adalah
ibadah kepada Allah SWT, sekaligus sebagai aktualisasi diri manusia sebagai
khalifah di muka bumi.
B.
PEMBAHASAN
I.
Istilah Tarbiyah
a.
Hadist Tentang Istilah Tarbiyah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي
قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا
أَتَى عَلَيْهِ قَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ
الْقَرْيَةِ قَالَ هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ لَا غَيْرَ
أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ فَإِنِّي رَسُولُ اللَّهِ
إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
“Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, "Pada suatu ketika ada seorang lelaki yang mengunjungi
saudaranya di desa lain. Kemudian Allah pun mengutus seorang malaikat untuk
menemui orang tersebut.Ketika orang itu ditengah perjalanannya ke desa yang dituju,
maka malaikat tersebut bertanya; 'Hendak pergi ke mana kamu?' Orang itu
menjawab; 'Saya akan menjenguk saudara saya yang berada di desa lain.' Malaikat
itu terus bertanya kepadanya; 'Apakah kamu mempunyai satu perkara yang
menguntungkan dengannya?' Laki-laki itu menjawab; 'Tidak, saya hanya
mencintainya karena Allah Azza wa Jalla.' Akhirnya malaikat itu berkata;
'Sesungguhnya aku ini adalah malaikat utusan yang diutus untuk memberitahukan
kepadamu bahwasanya Allah akan senantiasa mencintaimu sebagaimana kamu mencintai
saudaramu karena Allah.[1]
b.
Implikasi
Hadits
Sebagaimana dikutip dari Ahmad Tafsir[2] bahwa
pendidikan merupakan arti dari kata tarbiyah kata tersebut berasal dari tiga kata yaitu; rabba-yarbu
yang bertambah, tumbuh, dan ‘rabbiya- yarbaa’ berarti menjadi besar,
serta ‘rabba-yarubbu’ yang berarti memperbaiki, menguasai urusan,
menuntun, menjaga, memelihara
Abdurrahman
al-Nahlawi mengemukakan bahwa menurut Kamus Bahasa Arab, lafal al-Tarbiyah berasal
dan tiga kata, yaitu:
Pertama: raba
yarbu yang berarti bertambah dan bertumbuh. Makna ini dapat dilihat
dan firman Allah:
َمَا
آَتَيْتُمْ ومِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُو عِنْدَ
اللَّهِ
“Dan
suatu riba (tambahan) yang kalian berikan agar dia menambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah “. (QS Al-Rum: 39).
Kedua: rabiya
yarba dengan wazan (bentuk) khafiya yakhfa yang
berarti: menjadi besar. Atas dasar makna inilah Ibn aI-’Arabi mengatakan:
فَمَنْ يَكُ سَائِلاً عَنِّى فَإِنىِّ بِمَكَّةَ
مَنْزِلِى وَبِهَا رُبِيْتُ
"Jika
orang bertanya tentang diriku, maka Mekah adalah tempat tinggalku dan di
situlah aku dibesarkan".
Ketiga: rabba
yarubbu dengan wazan (bentuk) madda yamuddu yang
berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara. Makna
ini antara lain ditunjukkan oleh perkataan Hasan bin Tsabit, sebagaimana yang
ditulis oleh Ibn al-Manzhur dalam “lisan al-‘Arab:
وَلاَنْت أَحْسَنُ إِذْ بَذَرْتَ
لَنَا يَوْمَ الخْرُوُْجُ بِسَاحَةِ الْقَصْرِ
مِنْ ذُرَّيَةِ بَيْضَآءِ صَافِيَةٍ مِمَّا تَرَبَّبَ جَائِرَةُ الْبَحْرِ
"Sesungguhnya ketika engkau tampak pada hari ke luar di
halaman istina, engkau lebih baik daripada sebutir mutiara putih bersih yang
dipelihara oleh kumpulan air di
laut’ ".
Kata Ibn
al-Manzhur. “Rababtul amra-arubbuhu rabban wa rababan, berarti
aku memperbaiki dan mengokohkan perkara itu (Al-Nahlawi, 1989: 31).
Kata “tarbiyah” merupakan
masdar dan rabba, yurabbiy, tarbiyat dengan wazan fa‘ala,
yufa‘ilu, taf'ilan”. Kata ini ditemukan dalam Alquran
Surat Al-Isra’/17:24 yang terjemahannya: “Dan rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah “Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu
kecil “.
Dalam
terjemahan ayat di atas, kata tarbiyah digunakan untuk
mengungkapkan pekerjaan orang tua yang mengasuh anaknya sewaktu kecil.
Pengasuhan itu meliputi pekerjaan: memberi makanan, minuman. pengobatan,
memandikan, menidurkan dan kebutuhan lainnya sebagai bayi. Semua itu dilakukan
dengan rasa kasih sayang.
Beberapa
pengkaji telah menyusun definisi pendidikan dari ketiga asal kata ini: Imam
al-Baidawi (wafat: 685),dalam tafsirnya “Anwar al-Tanzil wa
Asrar al-Ta‘wil “, mengatakan makna asal al-Rabb adalah al-Tarbiyah yaitu:
menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit hingga sempurna. Kemudian kata itu
dijadikan sifat Allah SWT sebagai mubalaghah (penekanan).
Dalam
buku mufradat, al-Raghib al-Ashfahani (wafat: 502 H),
menyatakan bahwa makna asal al-Rab adalahal-Tarbiyah, yaitu:
memelihara sesuatu sedikit demi sedikit hingga sempurna (Al-Ashfahani,
1992:336).
Dari
ketiga asal kata di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan (tarbiyah) terdiri
dari empat unsur:
a)
Menjaga
dan memelihara fitrah anak menjelang balig.
b)
Mengembangkan
seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam-macam
c)
Mengarahkan
seluruh fitrah dan potensi anak menuju kepada kebaikan dan kesempurnaan yang
layak baginya.
d)
Proses
ini dilaksanakan secara bertahap.
II.
Istilah Ta’dib
a.
Hadist-hadist tentang istilah ta’dib
أَدَّبَنِى رَبِّى
اَحْسَنَ تَأْدِيْـبِى
“Tuhanku telah mendidikku, maka ia menjadikan pendidikanku
menjadi baik”(HR.Ibnu Hibban)
أَدِّبُـوْا أَوْلاَدَكُمْ عَـلَى ثَلاَثِ
حِصَـالٍ: حُبِّ نَبِـيِّكُمْ وَحُبِّ آلِ بَيْـتِهِ, وَتِـلاَوَتِ اْلقُـرْآنِ.
فَإِنَّ حَمَـالَةَ الْقُـرْآنِ فِى ظِـلِّ عَـرْشِ اللهِ يَـوْمَ لاَ ظِـلَّ
إِلاَّ ظِلُّـهُ مَعَ أَنْبِـيَآئِـهِ وَأَصْفِـيَآئِـهِ
“Didiklah anak-anakmu dalam tiga
hal: mencintai Nabimu, mencintai keluarga nabi, dan membaca Al Qur’an. Maka
sesungguhnya yang membaca Al Qur’an berada dalam naungan Nya, bersama para Nabi
dan orang-orang Suci”
أدّبوا اولادكم و احسنوا ادابهم
“Didiklah anak-anak kamu dengan
pendidikan yang baik”[3]
b.
Implikasi Hadist
Kata ta’dib berasal
dari kata addaba, yuaddibu, ta’dib yang artinya pendidikan (udecation)
disiplin, patuh dan tunduk pada aturan (discipline) peringatan atau
hukum (punishment) hukuman-penyucian (chastisement).[4] Ada
juga yang memberikan arti ta’dibyang berarti beradab, bersopan
santun, tata karma, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika.[5]
al-Attas
mengartikan ta’dib yang seakar dengan adab memiliki arti
pendidikan peradaban dan kebudayaan sebagai pengenalan dan pengakuan yang
secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang-tempat yang tetap
dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah
pengenalan dan pengakuan kekuatan dan keagungan Tuhan.[6] Melalui ta’dib ini
al-Attas ingin menjadikan pendidikan sebagai sarana transformasi nilai-nilai
akhlak mulia yang bersumber pada ajaran agama ke dalam diri manusia, serta
menjadi dasar terjadinya proses islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu
pengetahuan ini menurutnya perlu dilakukan dalam rangka membendung pengaruh
materialisme, sekularisme, dan dikotomisme ilmu pengetahuan yang dikembangkan
oleh barat.[7]
Selanjutnya dalam
sejarah, kata ta’dib digunakan untuk menunjukkan pada kegiatan
pendidikan yang dilaksanakan di istana-istana raja (qushur) yang para
muridnya terdiri dari para putra mahkota, pangeran atau calon pengganti raja.
Pendidikan yang berlangsung di istana ini diarahkan untuk menyiapkan calon
pemimpin masa depan. Karena itu, materi yang diajarkan meliputi pelajaran
bahasa, pelajaran berpidato, pelajaran menulis yang baik, pelajaran sejarah
para pahlawan dan panglima besar dalam rangka menyerap pengalaman keberhasilan
mereka, renang, memanah, dan menunggang kuda (pelajaran ketarampilan).[8] Penggunaan
kata ta’dib dalam arti pendidikan antara lain di jumpai dalam
hadis Rasullah sebagai berikut:
“Didiklah
putra-putrimu sekalian dengan tiga perkara: yaitu mencintai Nabi mereka,
mencintai keluarganya, membaca al-Qur’an, karena yang menghafal al-Qur’an akan
berada di bawah naungan Allah, pada hari yang tidak ada perlindungan
kecuali perlindungannya bersama para nabi dan para sahabatnya.” (HR. Dailami)[9]
أدبني ربي فأحسن تأديبي
“Tuhanku telah
mendidikku, maka ia menjadikan pendidikanku menjadi baik”(HR.Ibnu Hibban)
Oleh karenanya ta’dib sebagai
istilah pendidikan, pada awalnya telah dipakai secara tepat oleh para tokoh
sufi yang secara tipikal menonjol dalam pengembangan pribadi Islam melalui
pengembangan indra, akal dan moral. Makna yang dikandung dengan istilah adab atauta’dib,
sebab istilah ini tidak terbatas hanya pada aspek kognitif, tetapi juga
meliputi pendidikan spiritual, moral dan sosial.[10]
III.
Istilah Ta’lim
a. Hadist-hadist Tentang Istilah Ta’lim
اِعْمَلُوْا بِطَاعَةِ اللهِ وَاتَّقُوْا مَعَاصِىَ اللهِ
وَ مُرُوْا اَوْلَادَكُمْ بِامْتِثَالِ اْلَاوَامِرِ,وَاجْتِنَابِ النَوَاهِى فَذَالِكَ
وِقَايَةٌ لَهُمْ وَلَكُمْ مِنَ النّارِ
“Ajarkanlah mereka untuk ta’at kepada Allah dan takut
berbuat maksiat kepada Allah serta suruhlah anak-anak kamu untuk menaati
perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Karena itu akan memelihara
mereka dan kamu dari api neraka ”
مَنْ دَخَلَ مَسْجِدَنَا
هَذَا لِيُعَلِّمَ خَيْرًا اَوْ لِيَتَعَلَّمَ كَانَ كَا اْلمُجَاهِدِ فِى
سبيلالله
“Barang siapa masuk masjid kami ini untuk tujuan
mengajarkan kebaikan atau untuk belajar, maka dia bagaikan orang berperang di
jalan Allah”
ما من رجل يعلم ولده القرأن فى الدنيا الاّ توّج ابوه
بتاج فى الجنّة يعرفه به اهل الجنّة بتعليم ولده القرأن فى الدنيا
“Tidaklah seseorang mengajarkan Al Qur’an kepada
anaknya di dunia kecuali ayahnya pada hari kiamat dipakaikan mahkota surga.
Ahli surgamengenalinya dikarenakan dia mengajari anaknya Al Qur’an di dunia”
b. Implikasi Hadist
Perkataan ta’lim dipetik dari kata dasar ‘allama (عَلَّمَ), yu‘allimu يُعَلِّمُ)) dan ta’lim(تَعْلِيْم).Yu‘allimu diartikan dengan mengajarkan, untuk itu istilah ta’lim diterjemahkan
dengan pengajaran.M. Thalib mengatakan bahwa ta’lim memiliki arti memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang
belum tahu.[11]
Istilah Mu’allim atau pengajar yang berarti orang yang melakukan pengajaran,
juga di munculkan dalam hadith[12],
Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
اِعْمَلُوْا بِطَاعَةِ اللهِ وَاتَّقُوْا مَعَاصِىَ اللهِ
وَ مُرُوْا اَوْلَادَكُمْ بِامْتِثَالِ اْلَاوَامِرِ,وَاجْتِنَابِ النَوَاهِى فَذَالِكَ
وِقَايَةٌ لَهُمْ وَلَكُمْ مِنَ النّارِ
“Ajarkanlah
mereka untuk ta’at kepada Allah dan takut berbuat maksiat kepada Allah serta
suruhlah anak-anak kamu untuk menaati perintah-perintah dan menjauhi
larangan-larangan.Karena itu akan memelihara mereka dan kamu dari api neraka.”
Dalam hal ini ungkapan
(اعملو) diberikan kepada
orang tua yang berlaku sebagai mu’allim sedangkan pelajarnya (muta’allim) atau yang diajari adalah anak-anaknya. Juga sabda beliau[13]
خيركم
من تعلّم القرأن و علّمه
“Sebaik-baik
kamu adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.”
Dalam hadith ini
secara lengkap disebutkan ungkapan ta’alim(تعلّم), sedangkan ilmu yang dipelajari adalah Al-Qur’an serta
disebutkan pihak yang mengajarkannya.
Ta’lim secara umum hanya
terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif semata-mata. Hal ini
memberikan pemahaman bahwa ta’lim hanya mengedepankan proses pengalihan
ilmu pengetahuan dari pengajar (mu’alim) dan yang diajar (muta’alim). Ta’lim
juga mewakili ungkapan proses dari tidak tahu menjadi tahu. Dari perkataan
Sa’ad bin Waqash, memberi makna anak-anak yang tidak tahu tentang riwayat
Rasulullah, diajarkan sehingga menjadi tahu.
Apabila pendidikan Islam diidentikkan dengan ta’lim,
para ahli memberikan pengertian sebagai berikut;
a) Abdul
Fattah Jalal, mendefinisikan ta’lim sebagai proses pemberian
pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah,
sehingga penyucian atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan
diri manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah
serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya. Ta’lim
menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam
hidup serta pedoman prilaku yang baik. Ta’lim merupakan proses yang
terus menerus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak
mengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai potensi yang
mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta
memanfaatkanya dalam kehidupan.[14]
b) Menurut
Rasyid Ridho, ta’lim adalah proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan
pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu . Definisi ini
berpijak pada firman Allah yang berbunyi:
وَعَلَّمَ ءَادَمَ الأَسْمَآءَ كُلَّهَا
ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَآءِ هَؤُلآءِ
إِن كُنتُم صَادِقِينَ
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang
benar orang-orang yang benar!"
Rasyid
Ridho memahami kata ‘allama’ Allah kepada Nabi Adam as, sebagai proses
tranmisi yang dilakukan secara bertahap sebagaimana Adam menyaksikan dan
menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya. Dari penjelasan ini
disimpulkan bahwa pengertian ta’lim lebih luas atau lebih umum sifatnya
daripada istilah tarbiyah yang khusus berlaku pada anak-anak.Hal ini karena ta’lim
mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa, sedangkan tarbiyah,
khusus pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.[15]
c) Syed
Muhammad an-Naquib al-Attas, mengartikan ta’lim disinonimkan dengan
pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun bila ta’lim
disinonimkan dengan tarbiyah, ta’lim mempunyai arti pengenalan tempat
segala sesuatu dalam sebuah sistem.[16]
Menurutnya ada hal yang membedakan antara tarbiyah dengan ta’lim, yaitu
ruang lingkup ta’lim lebih umum daripada tarbiyah, karena tarbiyah tidak
mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial dan juga
tarbiyah merupakan terjemahan dari bahasa latin education, yang keduanya
mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, tetapi sumbernya
bukan dari wahyu.
d) Menurut
Muhammad Athiyah al-Abrasy, pengertian ta’lim berbeda dengan pendapat
diatas, beliau mengatakan bahwa; ta’lim lebih khusus dibandingkan dengan
tarbiyah, karena ta’lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan
mengacu pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan tarbiyah mencakup keseluruhan
aspek-aspek pendidikan.[17]
IV.
Analisis
Perbandingan Antara Konsep Tarbiyah, Ta’dib dan Ta’lim’
Istilah ta’lim, ta’dib dan tarbiyah dapatlah
diambil suatu analisa. Jika ditinjau dari segi penekanannya terdapat titik
perbedaan antara satu dengan lainnya, namun apabila dilihat
dari unsur kandungannya, terdapat keterkaitan yang saling mengikat satu sama
lain, yakni dalam hal memelihara dan mendidik anak.
Dalam ta’lim,
titik tekannya adalah penyampain ilmu pengetahuan yang benar, pemahaman,
pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah kepada anak. Oleh karena ituta’lim di
sini mencakup aspek-aspek pengetahuan dan ketrampilan yang di butuhkan
seseorang dalam hidupnya dan pedoman perilaku yang baik.
Sedangkan pada tarbiyah,
titik tekannya difokuskan pada bimbingan anak supaya berdaya (punya potensi)
dan tumbuh kelengkapan dasarnya serta dapat berkembang secara sempurna. Yaitu pengembangan ilmu dalam diri manusia dan
pemupukan akhlak yakni pengalaman ilmu yang benar dalam mendidik pribadi.
Adapun ta’dib,
titik tekannya adalah pada penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar
menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik.
Denga pemaparan ketiga
konsep di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ketiganya mempunyai satu tujuan
dalam dunia pendidikan yaitu menghantarkan anak didik menjadi yang “seutuhnya”, perfect
man, sehingga mampu mengarungi kehidupan ini dengan baik.
C.
SIMPULAN
Penggunaan istilah dalam pendidikan berdasar pada Al Qur’an dan As Sunnah
yang tepat akan menjadi sangat penting, karena akan mempengaruhi konsep
pendidikan khususnya pendidikan dalam pengertian Islam. Pengertian pendidikan
akan mendasari tujuan, metode sampai pada kurikulum pendidikan itu sendiri.
Mengadopsi seluruh istilah atau menggabungkannya sebagai upaya untuk
mengakomodasi saja tidaklah cukup, mengingat strukturnya dan penekanannya akan
berbeda. Apabila ta’dib adalah istilah yang paling mewakili pendidikan dalam
islam, maka adab akan menjadi stressing dalam pendidikan secara
keseluruhan, tidak hanya pada pendidikan agama saja.
Walaupun demikian tarbiyyah dan ta’lim merupakan istilah yang memilki
kaitan erat langsung dengan pendidikan itu sendiri. Proses pengembangan diri
dan pengajaran adalah bagian penting dalam pendidikan untuk mencapai tujuan
manusia sebagai hamba Allah.
D.
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir, Ahmad, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosda Karya, 1992.
http://akukepompong.wordpress.com/2011/12/30/pengertian-talim-tadib-tarbiyah-tadris-dan-tahdzib-talim/ Diakses tanggal 4 April 2012.
http://hanafianshory.blogspot.com/2011/04/studi-analisa-sepuluh-nasihat-lukman-al.html. Diakses tanggal 5 Juli 2012.
Al Attas, Syed Muhammad Naquib, 1980, The
Concept of Education in Islam: A Framework an Islamic Philosophy of
Education. Kuala Lumpur: ISTAC.
Al Attas, Syed Muhammad Naquib, 1977, Aims
and Objectives of Islamic Education: Jeddah: King Abdul Aziz University.
Al-Qur’an dan terjemahan, 1984, Jakarta: Departemen Agama RI
Fahr al-Razi, Mawafiqu
lil Mathbu, Dar Ihya at-Thuras al-Arab
Abuddin Nata,
2000, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Predana Media Grouf
[1]Hadits Shahih
Muslim, nomor : 4656. Diakses secara online melalui situs http://id.lidwa.com/app/.tanggal
15 April 2012, 19.30.
[8] Muhammad Dhiyau ar-Rahman al-‘Azhami, al-Mihnatul Kubra Syarah wa Takhrij as-Nusan as-Shukhra, (Riyad, an-Nasyir Maktabah ar-Rusydi 1422 H), Juz 8, hal. 154.
[9] Abi al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Hajar al-Haitami, al-Shawa’iqu al-Muharriqah ‘ala Ahli al-Rafdhi wa al-Dhalala wa
al-Zindiqah,( Beirut, 1997, Muasasa al-Risalah), Juz 2, hal. 496.
[12] Diriwayatkan
oleh Tirmidzi dan Darimi dari Abu Umamah Al Bahili r.a
[13] HR. Bukhari.
[14]. Abdul Fattah Jalal, Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi
al-Islam, Mesir: Darul Kutub Misriyah, 1977. Hal: 32.
[15] Rasyid Ridho, Tafsir
al-Manar, Mesir: Dar al-Manar, 1373 H. Hal: 42.
[17] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosda Karya, 1992. Hal: 5
Terima kasih telah memberikan pengetahuannya
ReplyDelete